Gubernur Jatim Terbitkan Dua Pergub Penangguhan UMK
Pemprov Jatim menyetujui penangguhan Upah Minimum Kabupaten (UMK) sejumlah perusahaan padat karya, dan menolak penangguhan UMK perusahaan yang tidak bisa menujukkan surat persetujuan dari organisasi buruh. Penangguhan UMK diharapkan tidak menurunkan daya beli buruh, karena tetap mengacu pada besaran Kebutuhan Hidup Layak (KHL) setempat.
Kebijakan penerbitan dua kali peraturan gubernur (pergub) tentang penangguhan UMK memang baru kali ini terjadi di Jawa Timur. Pergub pertama adalah Pergub No 5 tahun 2014 tertanggal 3 Februari 2014, yang membuat persetujuan kepada 41 perusahaan, dan menolak penangguhan UMK di 4 perusahaan. Sedangkan Pergub No 11 tertanggal 24 Februari 2014 menyetujui penangguhan UMK di tiga perusahaan, dan menolak penangguhan UMK di empat perusahaan. Hampir semua pengajuan penangguhan UMK yang masuk dalam pergub kedua ini berasal dari perusahaan padat karya, yakni industri alas kaki. (lihat tabel)
Dalam pertimbangannya, Gubernur Jatim menegaskan bahwa persetujuan maupun penolakan permohonan penangguhan UMK dari 53 perusahaan, telah sesuai dengan peraturan dan prosedur yang berlaku. Di antaranya rekomendasi hasil penelitian administrasi, pengkajian dan pengecekan ke lapangan ke masing-masing perusahaan pemohon penangguhan oleh tim yang terdiri-dari unsur pekerja, pengusaha, dan pemerintah dan telah melalui rapat pleno Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Timur.
Kebijakan penerbitan dua kali pergub ini menunjukkan Pemprov Jatim mem-berikan kesempatan kepada perusahaan padat karya, untuk melakukan permohonan penangguhan UMK. Hal ini terkait dengan surat Kementerian Perindustrian yang meminta dispensasi kepada peerusahaan padat karya, di antaranya industri tekstil dan alas kaki. Di Jawa Timur, sejumlah perusahaan padat karya memang mengakui keberatan dengan kewajiban membayar UMK tahun 2014. Seperti diketahui, besaran UMK tahun 2014 di wilayah Surabaya dan sekitarnya naik di atas 20 persen dari tahun sebelumnya, dan besarannya di atas Rp 2 juta untuk pekerja 0-1 tahun masa kerja.
Sementara itu, di DKI Jakarta sebanyak 50 perusahaan mengajukan penangguhan UMP 2014. Dari jumlah itu 34 perusahaan ditolak, 14 diterima dan 2 masih diminta untuk melengkapi persyaratan yang diperlukan seperti audit keuangan oleh akuntan publik dan kesepakatan pengusha dan pekerja atau serikat pekerja untuk menangguhkan UMP. Sedangkan secara nasional, pemerintah menyetujui penangguhan pelaksanaan Upah Minimum Provinsi (UMP) 177 dari 414 perusahaan yang mengajukan permohonan di seluruh Indonesia.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DKI Jakarta Priyono mengatakan, perusahaan yang mendapat dispensasi tetap tak bisa mengupahi pekerja di bawah Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang berlaku. Tahun ini besaran KHL Jakarta Rp 2.229.860. “Bagi pekerja yang masa kerjanya satu tahun ke atas, diberi upah di atas KHL dengan memperhatikan struktur dan skala pengupahan di perusahaan serta berdasarkan masa kerja,” kata Priyono, Senin (3/2).
Menurut Priyono dengan kebijakan itu maka upah pekerja yang masa kerjanya lebih lama menerima upah yang lebih tinggi ketimbang yang masa kerjanya baru. Baginya, perusahaan yang bersangkutan harus menjalankan kebijakan itu jika penangguhan UMP-nya nanti dikabulkan.
Priyono menjelaskan sebagian besar perusahaan di Jakarta yang mengajukan penangguhan UMP berlokasi di KBN Cakung-Cilincing yaitu 39 perusahaan dan 11 sisanya berada di luar daerah tersebut. Dari 39 perusahaan di KBN itu 31 perusahaan asal Korea Selatan, 4 domestik, Arab Saudi dan Taiwan masing-masing satu. Sedangkan untuk perusahaan di luar KBN 2 asal Korsel dan 9 perusahaan domestik. Untuk perusahaan yang langganan mengajukan penangguhan UMP, Priyono berjanji akan melakukan evaluasi.
Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Kesejahteraan Pekerja Disnakertrans Jakarta, Hadi Broto, mengatakan kebijakan yang mendorong perusahaan yang dikabulkan menangguhkan UMP untuk mengupah pekerjanya paling sedikit KHL dan mengacu masa kerja baru dapat dilakukan tahun ini. Sebab, tahun lalu jumlah perusahaan yang mengajukan penangguhan sangat banyak dan kenaikan UMP signifikan. “Tahun lalu terobosan itu tidak ada,” tandasnya.
Hadi menjelaskan kebijakan itu dapat memberi pemahaman kepada pengusaha dan pekerja tentang UMP. Sebab, selama ini perusahaan yang dikabulkan menangguhkan UMP biasanya membayar upah kepada semua pekerjanya sesuai KHL, tanpa memperhatikan masa kerja. Oleh karenanya dibutuhkan kebijakan guna memperbaiki hal tersebut. Hal itu selaras dengan amanat pasal 92 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyebut pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
Namun, Ketua Buruh Bersatu Retail Indonesia (ABBRI), Encep Supriyadi, mendesak Pemda DKI Jakarta untuk menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Struktur dan Skala Upah. Menurutnya, hal itu sebagai implementasi Kepmenakertrans No.49 Tahun 2004 tentang Struktur dan Skala Upah. Lewat Pergub itu ia berharap semua perusahaan di Jakarta wajib membuat struktur dan skala upah. Sehingga, ada perbedaan upah yang proposional antara pekerja yang masa kerjanya lama dengan baru. Serta mengacu tingkat pendidikan pekerja. Pergub tentang Struktur dan Skala Upah itu menurut Encep juga harus memuat sanksi tegas bagi pihak yang melanggar. “Jokowi harus bikin peraturan tentang Struktur dan Skala Upah,” tegasnya. *